WahanaListrik.com | Baru-baru ini publik dihebohkan dengan kabar kondisi kritisnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero) dan juga pembangkit listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP).
Kondisi ini memang bertolak belakang dengan posisi Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India.
Baca Juga:
Maraknya Penyalahgunaan Arus untuk 'Strum' Manusia, ALPERKLINAS Desak PLN Perketat Pengawasan
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa PLN bisa mengalami kondisi krisis pasokan batu bara?
Seperti yang diberitakan CNBC Indonesia, salah satunya dengan menanyakannya kepada mantan pejabat PT PLN (Persero) yang paham dengan dunia pembangkitan dan pasokan energi pembangkit listrik perseroan.
Menurut eks pejabat PLN tersebut, ada beberapa hal yang memicu krisisnya batu bara untuk pembangkit listrik PLN.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Soroti Ancaman 'Power Wheeling' dalam RUU EBET Prolegnas 2025
Bahkan, kondisi ini pernah terjadi beberapa kali, bahkan jauh sebelum 2021, seperti di 2007, 2008, juga 2018 lalu.
Kejadian krisis batu bara untuk pembangkit listrik ini bisa terjadi karena sejumlah alasan, antara lain:
1. Cuaca yang memengaruhi penggalian batu bara di tambang, seperti tingginya curah hujan sehingga tambang kebanjiran dan berdampak pada pasokan batu bara berkurang.
2. Jetty PLTU tertentu PLN rusak, sehingga tidak bisa menerima vessel atau tongkang pengangkut batu bara. Ini merupakan krisis PLTU lokal, tapi bisa memengaruhi pasokan listrik regional.
3. Keterlambatan proses kontrak pengadaan batu bara walaupun sangat jarang terjadi atau pemasok tidak 'perform' di mana PLN pada waktu tertentu harus membeli batu bara di pasar spot.
4. Pengaruh harga batu bara ekspor (internasional) yang tinggi atau kebutuhan luar negeri yang tiba- tiba melonjak tinggi di mana kesempatan ini digunakan penambang untuk menjual batu bara sebanyak-banyaknya ke luar negeri, sehingga pasokan dalam negeri berkurang.
Kondisi ini pernah dialami pada 2008, 2018, dan 2021 lalu, bahkan hingga baru-baru ini.
Seluruh penyebab ini pernah dialami oleh PLN," ungkap sumber CNBC Indonesia, dikutip Selasa (04/01/2021).
Dia menjelaskan, kebijakan PLN dalam menjaga pasokan batu bara antara lain adalah melalui kontrak jangka panjang dengan penambang-penambang besar, jangka menengah dengan traders dan penambang-penambang kecil, serta spot market dalam kondisi mendesak.
Selain itu, PLN juga menugaskan anak perusahaan yaitu PT PLN Batu Bara untuk juga mencari batu bara bekerja sama dengan traders atau penambang, namun sayangnya PLN Batu Bara belum punya tambang sendiri.
Begitu juga dari sisi cadangan atau stok, kebijakan PLN sampai 2015 adalah setiap PLTU harus punya cadangan minimal 30 hari operasi maksimum, sesuai kapasitas coal yard, namun sejak 2016 kebijakan ini diubah menjadi sekitar 14 hari karena dianggap menyimpan cadangan sampai 30 hari berarti membuat dana mati cukup besar.
"Bayangkan kebutuhan setahun waktu itu kalau tidak salah 60 juta ton (termasuk IPP), sekarang mungkin sudah 90 juta ton. Kebijakan ini memang mengakibatkan risiko kekurangan stok saat krisis menjadi lebih besar seperti sekarang terjadi," tuturnya.
"Tapi yang paling sering terjadi dan mengakibatkan persoalan besar pasokan adalah harga ekspor yang mencapai lebih dari US$ 200 per ton, sementara khusus untuk PLN sesuai ketentuan Menteri ESDM sebesar US$ 70 per ton dengan harga final sesuai kualitas yang diperlukan dihitung sesuai formula pada Permen ESDM," paparnya.
Seperti diketahui, pemerintah sudah mengeluarkan peraturan tentang kewajiban memasok batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang harus diikuti sebesar 25% dari produksi setiap penambang setiap tahunnya dan dengan batas harga maksimal US$ 70 per ton.
"Tapi pengalaman pada tahun 2008, 2018 dan sekarang menunjukkan permasalahan selalu di sini walau penambang punya macam-macam alasan. Pemerintah memang harus tegas soal kebutuhan batu bara dalam negeri, sebagaimana telah terbit kebijakan yang terakhir, akan melarang ekspor apabila DMO tidak dipenuhi penambang," tuturnya.
"Saya pikir ini yang harus ditertibkan pemerintah. Perlu diketahui, sesuai Undang-Undang, batu bara itu milik negara yang dikelola pemerintah dan penambang pada dasarnya adalah kontraktor pemerintah untuk menghasilkan batu bara. Negara hanya menerima royalti dan pajak," jelasnya.
Dengan tinggi luar biasanya harga batu bara di pasar internasional, sejauh ini tetap tidak ada pajak tambahan lain yang diterima oleh negara, misalnya pajak progresif. Ini artinya, penambang memperoleh keuntungan yang sangat besar dan dinikmati sendiri.
"Rasanya tidak adil kalau penambang tidak memenuhi DMO dengan harga standar US$ 70 per ton. Apakah harga standar dalam negeri untuk listrik ini merugi? Pasti tidak, sudah untung. Biaya pokok produksi batu bara pernah dihitung konsultan, hanya US$ 20-30 per ton tergantung rasio ketebalan lapisan tanah untuk menemukan batu bara," ungkapnya.
Dia pun mengingatkan kala harga batu bara sedang terpuruk seperti pada 2015 atau 2016, bahkan 2019, para penambang juga memasok sebanyak-banyaknya kepada PLN karena bisa menjamin keberlangsungan bisnis para penambang.
"Sungguh tidak adil kalau saat harga tinggi di luar negeri, kebutuhan dalam negeri ditinggalkan," ujarnya.
Menurutnya, dalam kontrak yang ada memang ada pengenaan denda atau penalti bagi penambang yang mangkir dari kontrak. Namun karena harga pasar internasional tengah melonjak luar biasa, sehingga harga tersebut jauh lebih menggiurkan dan tak sebanding dengan pengenaan denda yang tertuang dalam kontrak.
"Ada denda, tapi keuntungan ekspor jauh lebih besar dari nilai denda," tandasnya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa langkah ini harus diambil dan bersifat sementara guna menjaga keamanan dan stabilitas kelistrikan dan perekonomian nasional.
Kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik pada akhir Desember 2021 dan Januari 2022 ini mengancam pasokan listrik bagi 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), maupun non Jamali.
Hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total daya sekitar 10.850 Mega Watt (MW) terancam padam bila pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tak kunjung dipasok oleh perusahaan batu bara.
"Saat pasokan batu bara untuk pembangkit sudah terpenuhi, maka akan kembali normal, bisa ekspor. Kita akan evaluasi setelah tanggal 5 Januari 2022 mendatang," ujarnya dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu (1/1/2022).
Ridwan menambahkan, pemerintah juga beberapa kali telah mengingatkan para pengusaha batu bara untuk terus memenuhi komitmen memasok batu bara ke PLN. Namun, realisasinya pasokan batu bara setiap bulan ke PLN di bawah kewajiban persentase penjualan batubara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO).
"Dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari Pemerintah, hingga tanggal 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1%. Jumlah ini tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU yang ada," tutur Ridwan. [Tio]