WahanaListrik.com | Pengembangan energi baru terbarukan dinilai masih menghadapi kendala pendanaan, baik dari investor lokal maupun internasional.
Perbankan dalam negeri bahkan dinilai belum familier dengan energi terbarukan.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Penulis laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Institute for Essential Services Reform (IESR) Julius C Adiatma mengatakan bahwa selama ini pendanaan perbankan terhadap sektor energi masih didominasi untuk batu bara.
Hal itu turut berkontribusi pada minimnya investasi di sektor energi hijau.
“Iklim investasi masih belum mendukung [pengembangan EBT], karena bank lokal belum familier dengan risiko investasi ke energi terbarukan,” katanya saat media briefing Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Senin (20/12/2021).
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Selain itu, sejumlah regulasi juga dinilai menyebabkan pengembangan energi baru terbarukan terlihat belum atraktif. Misalnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Menteri ESDM Arifin Tasrif kemudian merevisi regulasi tersebut menjadi Permen ESDM Nomor 4/2020. Regulasi tersebut mengubah sejumlah aturan sebelumnya, seperti proses pembelian.
Kemudian perubahan skema build own operate and transfer (BOOT), pengaturan PLTA waduk/irigasi, penugasan PLTS atap, hingga penugasan proyek pendanaan dari hibah pemerintah selain APBN.
“Kami akan merekomendasikan bagaimana regulasi yang exist saat ini harus direvisi ke depan. Lalu juga mengenai RUU EBT yang masih belum ada [terbit], mungkin tahun depan,” terangnya.
Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 melaporkan bahwa pengembangan energi terbarukan mencapai US$25 miliar–US$35 miliar atau setara Rp 350 triliun hingga Rp 490 triliun per tahun sampai dengan 2030.
Kebutuhan itu kemudian meningkat US$45 miliar–US$60 miliar atau setara Rp630 triliun–Rp840 triliun setelah 2030 hingga 2050. Selama ini terdapat beberapa lembaga internasional yang berfokus pada pendanaan iklim, seperti green climate fund.
Akan tetapi, lembaga lainnya hanya berfokus pada upaya menangani perubahan iklim, bukan pada energi terbarukan. Pemerintah juga telah berinisiatif mengeruk investasi, seperti melalui green bond atau model pinjaman non-konvensional lainnya.
“Cuma sampai sekarang masih belum terlalu banyak realisasinya yang digunakan untuk industri EBT.”
IESR juga mendorong agar rencana pengenaan carbon tax memberikan dampak untuk pengembangan EBT.
Misalnya, pendapatan dari pajak karbon diperuntukan bagi pengendalian iklim, maupun pengembangan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa kebutuhan investasi proyek energi terbarukan melingkupi pembangkit listrik, transportasi, dan industri.
Artinya, pengembangan EBT tidak sekadar pada tataran produksi mobil listrik. Akan tetapi, turut mencakup stasiun pengisian, jaringan listrik EBT, maupun dukungan pengembangan melalui regulasi. [Tio]