WahanaListrik.com | Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatatkan efisiensi biaya Rp 34 triliun.
Salah satu caranya, menyepakati penundaan jadwal operasi atau Commercial Operation Date (COD) sejumlah pembangkit listrik dengan perusahaan listrik swasta alias Independent Power Producer (IPP).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, perusahaan mengalami kelebihan pasokan listrik.
Oleh karena itu, opsi renegosiasi kontrak dengan pengembang listrik swasta akan terus dilanjutkan.
Ia menjelaskan, tagihan pembelian dari IPP melalui kebijakan sistem take or pay atas atas setiap 1 gigawatt (GW) pembangkit listrik yang beroperasi, sekitar Rp 3,5 triliun per tahun.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Sedangkan peningkatan konsumsi listrik tak signifikan.
"Dengan kondisi over supply ini, kami negosiasi dengan IPP. Dari target efisiensi biaya Rp 60 triliun, sudah tercapai Rp 34 triliun dan sedang berproses," kata Darmo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Rabu (26/1/2022).
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa tagihan pembelian listrik PLN dari IPP melalui kebijakan take or pay terus meningkat sejak 2019. Bahkan diperkirakan mencapai Rp 102-Rp 103 triliun tahun lalu.
Menurut Fabby, skema pembelian listrik dari pihak swasta melalui kebijakan tersebut cukup mengerikan.
Pada 2019 misalnya, total pembayaran ke sejumlah IPP yang didominasi batu bara mencapai Rp 83,56 triliun.
Pada 2020, naik lagi menjadi Rp 98,65 triliun.
“Tahun lalu, diperkirakan Rp 102-Rp 103 triliun. Ini beban luar biasa," ujar Fabby. [Tio]