Pembatasan penggunaan listrik termasuk di kawasan industri utama seperti Jiangsu, Zhejiang dan Guangdong. Tiga provinsi ini dikenal sebagao kekuatan industri yang menyumbang hampir sepertiga dari ekonomi Cina.
Cina meminta berbagai industri manufaktur dalam negeri, mulai dari peleburan aluminium, produsen tekstil hingga pabrik pengolahan kedelai, untuk mengurangi aktivitasnya atau menutup sama sekali.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Pemasok perusahaan besar seperti Apple dan Tesla pun terpaksa menutup sementara pabriknya karena kota tempat mereka beroperasi, yakni Shenyang dan Dalian menerapkan penjatahan listrik.
Information Daily melaporkan, provinsi Guangdong yang merupakan pusat industri selatan dengan ekonomi lebih besar dari Australia telah membatasi penggunaan listrik sebanyak 15 gigawatt. Permintaan di provinsi ini melonjak hingga mencapai 141 gigawatt, naik 11% dari tahun lalu.
Selain meminta pabrik-pabrik menghentikan produksi, penduduk di Guandong juga diminta mengurangi penggunaan listrik dengan diminta mengandalkan cahaya alami, dan membatasi penggunaan AC.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Cina bakal menghadapi risiko kekurangan batu bara dan gas — yang digunakan untuk memanaskan rumah dan pabrik listrik — pada musim dingin ini.
Upaya untuk meningkatkan pasokan batu bara pun terkendala harganya yang kini telah menembus US$ 200 per ton di pasar komoditas Cina. Adapun negara produsen batu bara, seperti Rusia, Mongolia Dalam, dan Indonesia, tidak bisa segera meningkatkan alokasinya untuk Cina karena beberapa kendala.
Adapun, harga gas alam dari Eropa ke Asia telah melonjak ke level tertinggi musiman karena banyak negara berupaya mengamankan pasokan. Persoalan krisis listrik ini dianggap sebagai ancaman ekonomi setelah lepas dari tekanan pandemi.