WahanaListrik.com | PT PLN (Persero) membutuhkan USD 3,8 miliar, atau setara Rp 54,549 triliun (kurs Rp 14.355 per dolar AS) untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berkapasitas 5,4 GW.
Program ini sejalan dengan target pemerintah yang ingin membebaskan langit Indonesia dari emisi karbon (net zero emission) sebelum 2060 mendatang.
Baca Juga:
Era Energi Terbarukan, ALPERKLINAS: Transisi Energi Harus Didukung Semua Pihak
Namun, PLN membutuhkan bantuan asing untuk pendanaan tersebut. Sebab, perseroan harus mengganti rugi pembelian listrik dari pihak swasta melalui skema Take or Pay (TOP).
"Kami siap mengeluarkan 5,4 GW pembangkit asalkan ada biaya untuk menggantikan TOP pembangkit tersebut sebesar USD 3,8 miliar," ujar EVP Electricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra dalam sesi webinar, Rabu (08/12/2021).
Jika PLN sukses mempensiunkan PLTU berkapasitas 5,4 GW tersebut, Edwin memperkirakan, setidaknya hampir 900 metrik ton emisi karbon dioksida bisa dihilangkan.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Hal itu disepakati Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia, Dannif Danusaputro. Dia menilai, pengeluaran emisi terbesar sejauh ini memang berasal dari pembangkit listrik.
Menurut catatannya pada 2020 lalu, setidaknya hampir 280 juta metrik ton emisi karbon dioksida dihasilkan dari sektor pembangkit listrik, khususnya yang masih memakai energi fosil seperti batubara.
"Terus ditambah oleh sektor transportasi. Dari mobil, motor yang sehari-hari kita pakai, dan juga yang paling besar dari bus antar kota. Semuanya sekarang ini hampir 100 persen memakai fossil fuel," tutur dia.
Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia Dannif Danusaputro menyoroti pelaku industri di Indonesia yang belum bisa lepas dari pemakaian energi fosil, meskipun dunia kini tengah beralih pada sektor energi baru terbarukan (EBT).
Dannif menilai, Indonesia belum akan bisa sepenuhnya lepas dari energi fosil dalam waktu dekat untuk mengurangi jumlah emisi karbon.
"Transisi ini tidak akan terjadi dalam jangka waktu yang mepet. Jadi tidak akan terjadi dalam jangka waktu yang instan," ujar dia dalam sesi webinar, Rabu (8/12/2021).
Bahkan, ia memperkirakan, pembuangan emisi karbon tetap terjadi di Indonesia sampai 2060. Situasi ini berkebalikan dengan target pemerintah yang ingin mencapai net zero emission pada tahun tersebut.
"Kalau kita lihat, konsumsi fosil akan terus terjadi dan ada sedikit growth, tapi sangat landai. Sehingga akan terus ada emisi karbon, even sampai 2060," kata Dannif.
Memitigasi hal tersebut, ia menyarankan pemakaian renewable energy perlu ditingkatkan di setiap kegiatan atau proyek, sehingga negara bisa mengurangi emisi karbon tersebut.
Menurut catatannya, pengeluaran emisi terbesar sejauh ini masih berasal dari pembangkit listrik. Pada 2020, hampir 280 juta metrik ton emisi karbon diaoksida dihasilkan sektor pembangkit listrik.
"Terus ditambah oleh sektor transportasi. Dari mobil, motor yang sehari-hari kita pakai, dan juga yang paling besar dari bus antar kota, semuanya sekarang ini hampir 100 persen memakai fossil fuel," tuturnya. [Tio]