WahanaListrik.com | Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta pemerintah tetap berlakukan aturan domestic market obligation (DMO) atau prioritas penjualan di dalam negeri bagi komoditas batu bara.
Hal ini penting dilakukan agar pasokan batu bara untuk kebutuhan industri dalam negeri, utamanya kebutuhan pembangkit listrik, terjamin.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Mulyanto menegaskan pemerintah jangan mau tunduk pada kepentingan pengusaha yang minta penghapusan kebijakan DMO.
"Sampai hari ini, DMO adalah instrumen yang terbukti sangat efektif untuk mengimplementasikan kebijakan umum energi nasional, yakni menjadikan sumber daya energi bukan sekedar sebagai komoditas ekonomi yang diekspor untuk mendapatkan pemasukan negara, tetapi untuk mendukung pembangunan nasional.
Kebijakan energi kita tidak menjadikan sumber daya energi, seperti batu bara, minyak, gas, dan lainnya sebagai komoditas ekonomi yang dikeruk sekadar untuk meningkatkan devisa negara. Tapi yang utama sebagai sumber daya penunjang penyelenggaraan pembangunan nasional.
Mulyanto menambahkan DMO adalah upaya pemerintah untuk menjamin pasokan batu bara bagi keperluan domestik, baik dari segi volume maupun harga.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Dari sisi harga, DMO adalah sebentuk ‘subsidi’ di sisi hulu bagi ketahanan energi nasional. Karena harga batu bara DMO untuk listrik umum hanya sebesar US$ 70 per metrik ton. Padahal harga batu bara internasional sempat meroket menembus angka US$ 267 per metrik ton.
"Bayangkan bila tanpa DMO, tarif listrik atau subsidi listrik akan melonjak 3 kali lipat. Dengan ketentuan DMO saja, masih banyak perusahaan batu bara yang nakal, yang cari untung lebih, dengan mengalokasikan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri kurang dari 25 persen produksinya. Bagaimana bila tidak ada DMO?" kata Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian ESDM, Senin (15/11/2021) diketahui ternyata dari 500-an perusahaan batu bara, hanya 85 perusahaan yang patuh atas aturan ini. Sementara selebihnya melanggar ketentuan DMO.
"Jadi alih-alih dihapus, pemerintah harusnya konsisten menegakkan aturan DMO ini. Tidak cukup sekadar denda, yang tidak seberapa dan dapat ditutup oleh produsen batu bara dari keuntungan ekspor.
Perlu sanksi yang lebih tegas lagi misalnya pelarangan ekspor, pengurangan kuota produksi atau kalau perlu pencabutan izin produksi," imbuh Mulyanto.
"Pemerintah jangan lembek terhadap taipan batu bara, yang keuntungannya berlipat-lipat saat harga batu bara melejit. Justru, semestinya pemihakan pemerintah adalah kepada rakyat dengan menyediakan listrik dengan tarif terjangkau, apalagi di tengah pandemi yang belum berakhir," kata Mulyanto.
Mulyanto menyebut ketentuan DMO ini cocok dengan semangat keputusan MK terkait UU No. 4/2020 tentang Minerba, dimana MK membatalkan pasal yang ‘menjamin’ perpanjangan secara otomatis PKP2B atau KK yang habis masa izinnya.
Artinya, PKP2B atau KK yang melanggar ketentuan DMO selayaknya tidak diperpanjang izin produksinya oleh Pemerintah.
Untuk diketahui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 255.K/30/MEM/2020 tentang pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2021 menetapkan persentase minimal penjualan batu bara DMO sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi batubara tahun 2021, yang disetujui oleh pemerintah, dengan harga untuk kebutuhan tenaga listrik kepentingan umum sebesar US$ 70 per metrik ton.
Sedang untuk kebutuhan bahan baku/bahan bakar industri semen dan pupuk sebesar USD 90 per metrik ton.
Harga komoditas batu bara terus merangkak sejak semester II/2021 seiring dengan tingginya permintaan batu bara di pasar global. Harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak Desember 2021 sempat mencapai US$267 per metrik ton. [Tio]