WahanaListrik.com | Pemerintah sedang Menyusun Peraturan Presiden terkait blended finance untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Investor EBT nantinya dapat memanfaatkan tidak hanya di dalam negeri, tidak hanya yang berbasis komersial perbankan, tapi juga dari filantropis serta mulitnasional.
Baca Juga:
Tujuh Tahun Terakhir, Rasio Elektrifikasi PLN NTT Naik 34 Persen
Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan mdel pendanaan blended finance merupakan dana perwalian perubahan iklim Indonesia akan memfasilitasi perolehan dana dari para donor, yaitu Asian Development Bank, European Investment Bank (hibah/pinjaman) dan World Bank.
Dadan menyebutkan, untuk mendukung proyek Sustainable Development Goal disiapkan SDG Indonesia Satu yang merupakan platform terintegrasi.
Ini terdiri atas empat pilar, yaitu fasilitas pengembangan, de-risking, pembiayaan dan ekuitas.
Baca Juga:
Sambut HLN Ke-79, Donasi Insan PLN Terangi 3.725 Keluarga se-Indonesia
Selain itu, investasi anggaran non pemerintah yang mendorong sektor swasta dalam pengembangan proyek infrastruktur strategis nasional.
“Skema ini memfasilitasi investor dalam pembiyaan ekuitas (pembiayaan ekuitas langsung dan instrumen investasi ekuitas),” ujar Dadan pada webinar Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Pemerintah juga menyiapkan Tropical Landscape Finance Facility (TLFF).
Hal ini bertujuan memanfaatakan pendanaan publik untuk penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk di bidang restorasi ekosistem dan investasi EBT.
Selain itu, ada skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau Public Private Partnership (KPBU/PPP) adalah kontrak jangka panjang antara pihak swasta dan entitas pemerintah untuk menyediakan aset layanan publik berupa Project Development Facility, Viability Gap Found, penjaminan infrastruktur & pembayaraan ketersediaan.
“Terakhir, dari perbankan komersial dimana Otoritas Jasa Keuangan mewajibkan persentase tertentu dari portofolio kredit untuk pembiayaan proyek hijau,” katanya.
Menurut Dadan, kecukupan finansial memiliki peran strategis dalam percepatan transisi energi. Pemerintah akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 di tahun 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan.
“Pemerintah memiliki skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antarnegera maupun lembaga internasional,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.
Dadan mengutarakan, kebutuhan investasi supaya mencapai karbon netral pada 2060 memerlukan biaya besar.
“Kalau kita ingin bebas dari emisi karbon pada 2060, secara total kita membutuhkan sekitar US$ 1 triliun atau US$29 miliar per tahun,” katanya.
Angka tersebut terdiri dari kebutuhan investasi di pembangkit EBT sebesar US$1.042 miliar dan transmisi yang mencapai US$ 135 miliar.
“Transmisi ini biasanya satu paket (pembangunan pembangkit) supaya bisa beroperasi,” kata Dadan.
Dia mengakui, biaya pengembangan PLT EBT semakain murah dan efisien.
Berdasarkan IRENA Renewable Power Generation Cost in 2020, biaya pembangunan PLT EBT mengalami penurunan cukup signifikan secara global selama 10 tahun terakhir.
Bahkan biaya operasi PLT EBT baru terutama PLT Surya dan PLT Bayu (termasuk biaya integrasi) dapat bersaing dengan PLTU eksisting skala 800 Mega Watt.
“Harga-harga pembangkit yang intermiten (surya & angin) semakin menurun. Dalam waktu 10 tahun, turunnya hampir 80% dari US$5.000 per kWh menjadi US$1.000 per kWh. Bahkan lelang yang dilakukan oleh PLN sudah bisa menembus di bawah PLTU batubara,” katanya. [Tio]