“Kami akan merekomendasikan bagaimana regulasi yang exist saat ini harus direvisi ke depan. Lalu juga mengenai RUU EBT yang masih belum ada [terbit], mungkin tahun depan,” terangnya.
Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 melaporkan bahwa pengembangan energi terbarukan mencapai US$25 miliar–US$35 miliar atau setara Rp 350 triliun hingga Rp 490 triliun per tahun sampai dengan 2030.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Kebutuhan itu kemudian meningkat US$45 miliar–US$60 miliar atau setara Rp630 triliun–Rp840 triliun setelah 2030 hingga 2050. Selama ini terdapat beberapa lembaga internasional yang berfokus pada pendanaan iklim, seperti green climate fund.
Akan tetapi, lembaga lainnya hanya berfokus pada upaya menangani perubahan iklim, bukan pada energi terbarukan. Pemerintah juga telah berinisiatif mengeruk investasi, seperti melalui green bond atau model pinjaman non-konvensional lainnya.
“Cuma sampai sekarang masih belum terlalu banyak realisasinya yang digunakan untuk industri EBT.”
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
IESR juga mendorong agar rencana pengenaan carbon tax memberikan dampak untuk pengembangan EBT.
Misalnya, pendapatan dari pajak karbon diperuntukan bagi pengendalian iklim, maupun pengembangan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa kebutuhan investasi proyek energi terbarukan melingkupi pembangkit listrik, transportasi, dan industri.