WahanaListrik.com | Energi panas bumi bisa menjadi tulang punggung utama penerapan energi baru terbarukan (EBT) di Jabar.
Selain ramah, potensi panas bumi di Jabar berkelanjutan.
Goverment Relation Manager PT Star Energy Geothermal, Bagus Krisna Tandia menyatakan, pihaknya siap menjadi tulang punggung penerapan EBT di Jabar.
Baca Juga:
6.470 Pelari Ramaikan PLN Electric Run 2024, Bisa Kurangi Emisi Karbon Hingga 14 Ton CO2
"Kami adalah penghasil daya panas bumi terbesar di Indonesia dan salah satu yang terbesar di dunia," ujar Bagus dalam diskusi media Energi Baru Terbarukan yang digelar Star Energy dan Pokja PWI Gedung Sate di Bandung, akhir pekan kemarin.
Tiga lokasi panas bumi yang dioperasikan Star Energy Geothermal saat ini berada di Gunung Salak (Sukabumi dan Bogor), Darajat (Garut) dan Wayang Windu (Kabuapaten Bandung).
"Dari tiga titik tersebut, kapasitas yang dihasilkan mencapai 875 MW, jadi 70 persen pasokan panas bumi di Jawa Barat dari kami,” katanya.
Bagus memastikan, energi panas bumi bisa memberikan kestabilan pembangkitan energi di tahap transisi Indonesia (2021-2035) seperti yang tertera dalam peta jalan energi menuju karbon netral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM).
Baca Juga:
Digelar Besok, PLN Electric Run 2024 Ajak Pelari Gaungkan Semangat Ramah Lingkungan
"Kenapa panas bumi penting karena sumber energi ini berkelanjutan, bersih, bisa diandalkan. Berdasarkan peta jalan transisi energi menuju karbon netral, sampai 2035 panas bumi masih bisa diharapkan sampai teknologi surya atau bayu bisa mengambil alih," jelas Bagus.
Menurutnya, investasi panas bumi memang membutuhkan biaya tinggi, begitupun risiko kegagalannya. Namun, kata Bagus, sejauh ini, Star Energy mampu mengelola dan mengoperasikan tiga titik panas bumi dengan baik. Bahkan, bisa menjadi penyelamat saat peristiwa mati listrik besar 2019 lalu.
"Jadi begitu listrik mati itu, kita yang pertama diaktifkan. Kita turut menstabilkan jaringan listrik PLN saat itu," ujarnya.
Bagus memastikan alasan panas bumi tetap harus dikembangkan dalam proses transisi EBT di Indonesia. Menurutnya, panas bumi terbukti ramah lingkungan karena bukan merupakan energi fosil dimana pelepasan karbon ke atmosfir sangat rendah.
"Cocok sekali untuk dioperasikan sepanjang waktu sebagai sumber daya baseload yang stabil tanpa tergantung cuaca dan fenomena iklim lainnya," katanya.