Indonesia, kata Anif, memiliki sumber energi hijau dan EBT yang melimpah, namun sayang belum termanfaatkan optimal. Seperti negara lain, Indonesia masih mengandalkan energi fosil (batubara dan migas) untuk membangkitkan energi.
Saat ini Indonesia memiliki potensi EBT sejumlah 417,8 GW, sementara yang dimanfaatkan baru 2,5 persen atau 10,4GW.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Rinciannya panas bumi memiliki potensi 29,3 GW (yang dimanfaatkan 8,9 persen), bioenergi potensi 32,6 GW (dimanfaatkan 5,8 persen), bayu potensi 60,6 GW (dimanfaatkan 0,3 persen), hidro 75 GW (dimanfaatkan 8,2 persen), surya potensi 207 GW (dimanfaatkan 0,07 persen), dan arus laut potensi 17,9 GW (belum dimanfaatkan sama sekali).
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki bahan baku untuk energi hijau yakni mineral yang mendukung untuk pembuatan baterai (terutama) untuk mobil listrik.
"Indonesia memiliki 25 persen dari cadangan nikel di seluruh dunia, sehingga Indonesia akan memerankan peran yang sangat strategis dan dominan dalam usaha dunia mewujudkan green energy," kata Direktur J Resource Asia Pacific, Adi Maryono.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Karena itu, tambah Adi Maryono, kendaraan berbahan bakar fosil harus digantikan dengan kendaraan yang digerakkan listrik. Kalau transformasi itu terjadi, maka kebutuhan bahan tambang berupa nikel, cobal, lithium, dan rare earth element akan meningkat pesat.
"Ini akan melibatkan Indonesia. Karena Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Menurut United States Geological Survey (USGS), Indonesia memiliki 21 juta ton nikel metal. Sedangkan cadangan nikel global itu 95 juta ton nikel metal. Kalau menurut perhitungan saya sendiri, Indonesia memiliki 23,8 juta ton nikel metal," kata Adi.
Indonesia juga memiliki cadangan logam tanah jarang (rare earth element/REE) untuk pembuatan baterai.