Listrik.WahanaNews.co | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan penerapan pajak karbon pada tahun ini tidak secara otomatis menggerek tarif listrik di tingkat konsumen secara signifikan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan penerapan pajak karbon yang diarahkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada tahap awal itu hanya berdampak kecil pada ongkos produksi listrik yang ditanggung perusahaan produsen listrik (IPP) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Baca Juga:
Lewat Perdagangan Karbon, PLN Indonesia Power Dukung Target NDC
“Kalau ke biaya pokok produksi [BPP] pasti ada tapi kecil sekali. Kan baru uji coba sekitar US$2 per ton CO2. Jadi tidak berpengaruh banyak terhadap BPP,” kata Rida kepada Bisnis, Rabu (20/7/2022).
Dengan demikian, Rida mengatakan kementeriannya belum berencana untuk menyesuaikan kembali tarif listrik pada kuartal keempat menyusul komitmen pemerintah untuk menerapkan pajak karbon sebelum pergelaran Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November tahun ini.
“Belum ada rencana penyesuaian tarif, masih jauh,” kata dia.
Baca Juga:
PLN Indonesia Power Dukung Target NDC Lewat Perdagangan Karbon
Di sisi lain, Kementerian ESDM tengah memfinalisasi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) ESDM tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU).
Seperti diberitakan sebelumnya, PLN telah siap untuk melaksanakan ketentuan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada PLTU tahun ini.
Di sisi lain, PLN bakal mengikuti arahan pemerintah pusat terkait dengan konsekuensi dari penyesuaian tarif listrik selepas penerapan pajak karbon pada pemasok listrik berbasis batu bara ke depan.
Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan perseroan bakal menjalankan seluruh kebijakan terkait dengan pajak karbon itu untuk mempercepat upaya transisi energi bersih di dalam negeri.
“Terkait tarif [listrik setelah pajak karbon], sesuai regulasi hal ini merupakan kewenangan pemerintah. PLN siap menjalankan dan mendukung keputusan pemerintah,” kata Greg saat dihubungi, Minggu (17/17/2022).
Di sisi lain, Greg memastikan PLN relatif sudah siap untuk menerapkan mekanisme transaksi karbon itu antar grup usaha.
PLN telah melakukan uji coba perdagangan karbon sepanjang 2021 melalui program Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi.
Program itu diikuti oleh 32 unit PLTU Batu bara yang terdiri dari 14 unit buyer dan sisanya sebagai seller.
Adapun terdapat 28 transaksi karbon dengan total transaksi mencapai 42.455,42 ton CO2 dengan harga rata-rata unit karbon sebesar US$2 per ton CO2.
Sementara terdapat offset sebesar 4.500 CO2 dari sertifikat internasional dengan rata-rata harga sebesar 3 EUR per ton CO2 dan 22.248,1 CO2 dari sertifikat penurunan emisi (SPE) dengan rata-rata unit karbon sebesar Rp 4.000 per ton CO2.
“Tentunya ada PLTU yang melebihi cap dan ada PLTU yang di bawah cap. PLN akan mengupayakan semaksimal mungkin untuk menurunkan emisi pembangkit, namun jika masih melampaui cap maka akan diupayakan terlebih dahulu melalui skema perdagangan karbon,” kata dia.
Dengan demikian, dia menggarisbawahi, emisi yang terkena pajak adalah sisa gas buang yang belum ter-offset melalui perdagangan karbon.
Adapun, total biaya uji coba pasar carbon market itu mencapai Rp 1,54 miliar yaitu terdapat insentif Rp 1,22 miliar untuk perusahaan yang berada di bawah cap dan insentif Rp 236 juta untuk pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan. [Tio]