"Jadi alih-alih dihapus, pemerintah harusnya konsisten menegakkan aturan DMO ini. Tidak cukup sekadar denda, yang tidak seberapa dan dapat ditutup oleh produsen batu bara dari keuntungan ekspor.
Perlu sanksi yang lebih tegas lagi misalnya pelarangan ekspor, pengurangan kuota produksi atau kalau perlu pencabutan izin produksi," imbuh Mulyanto.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Pemerintah jangan lembek terhadap taipan batu bara, yang keuntungannya berlipat-lipat saat harga batu bara melejit. Justru, semestinya pemihakan pemerintah adalah kepada rakyat dengan menyediakan listrik dengan tarif terjangkau, apalagi di tengah pandemi yang belum berakhir," kata Mulyanto.
Mulyanto menyebut ketentuan DMO ini cocok dengan semangat keputusan MK terkait UU No. 4/2020 tentang Minerba, dimana MK membatalkan pasal yang ‘menjamin’ perpanjangan secara otomatis PKP2B atau KK yang habis masa izinnya.
Artinya, PKP2B atau KK yang melanggar ketentuan DMO selayaknya tidak diperpanjang izin produksinya oleh Pemerintah.
Untuk diketahui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 255.K/30/MEM/2020 tentang pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2021 menetapkan persentase minimal penjualan batu bara DMO sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi batubara tahun 2021, yang disetujui oleh pemerintah, dengan harga untuk kebutuhan tenaga listrik kepentingan umum sebesar US$ 70 per metrik ton.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Sedang untuk kebutuhan bahan baku/bahan bakar industri semen dan pupuk sebesar USD 90 per metrik ton.
Harga komoditas batu bara terus merangkak sejak semester II/2021 seiring dengan tingginya permintaan batu bara di pasar global. Harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak Desember 2021 sempat mencapai US$267 per metrik ton. [Tio]