WahanaListrik.com | Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengkhawatirkan rencana penaikan tarif dasar listrik (TDL) 13 golongan pelanggan nonsubsidi pada pertengahan tahun ini.
Kenaikan TDL itu dipastikan bakal menyulitkan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar global.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan tarif listrik menyumbang sekitar 25 persen dari keseluruhan biaya produksi TPT.
Kenaikan TDL itu bakal mengungkit ongkos produksi yang belakangan berdampak pada harga barang di tingkat konsumen.
“Harapan kita sih PLN untuk batubara itu disuplai kalau komitmennya memang tidak lagi ekspor komoditas, berarti PLN batubaranya disuplai bukan dengan harga market tetapi keekonomian,” kata Redma melalui sambungan telepon, Kamis (10/2/2022).
Baca Juga:
Bebani Konsumen Listrik, YLKI Desak Pemerintah Batalkan Power Wheeling
Menurut Redma, tarif yang berlaku lewat kebijakan pasokan batubara kepada PLN saat ini sudah mendorong daya saing produk tekstil domestik di pasar internasional.
Kondisi itu ikut mengungkit nilai ekspor produk tekstil selama pandemi Covid-19.
“Sekarang kita dapat keuntungan karena China dapat harga batu bara internasional karena harus impor,” tuturnya.
Adapun, kontribusi industri TPT terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur sebesar 6,08 persen pada triwulan III tahun 2021.
Sementara itu, pertumbuhan industri TPT secara triwulanan juga mengalami perbaikan menjadi sebesar 4,27 persen (q to q) apabila dibandingkan triwulan II-2021 sebesar 0,48 persen.
Malahan, ekspor TPT pada periode Januari-Oktober 2021 turut mengalami peningkatan sebesar 19 persen menjadi US$10,52 miliar, selain nilai investasi yang juga mengalami kenaikan sebesar 12 persen sehingga menjadi Rp 5,06 triliun.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksikan surplus neraca niaga pada tahun ini berada di posisi US$31,4 miliar hingga US$31,7 miliar.
Proyeksi itu mengalami penurunan sebesar 11,39 persen jika dibandingkan dengan torehan surplus 2021 di posisi US$35,44 miliar.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan penyesuaian proyeksi neraca niaga itu berdasar pada outlook harga komoditas global yang cenderung mengalami penurunan pada awal tahun ini.
“Kenaikan harga komoditas supercycle masih menjadi pendorong kenaikan nilai ekspor Indonesia. Namun berkaca pada pengalaman sebelumnya, kondisi ini tidak akan bertahan lama,” kata Kasan melalui pesan WhatsApp, Rabu (9/2/2022). [Tio]