WahanaListrik.com | Pemerintah memutuskan untuk menyetop sementara ekspor kelapa sawit (CPO) dan minyak goreng.
Kebijakan ini mulai berlaku pada 28 April 2022 mendatang.
Baca Juga:
Pungutan Ekspor Sawit Dihapus, Negara Kehilangan Penerimaan Rp 9 Triliun
Kebijakan yang diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi tersebut bertujuan untuk menekan harga di dalam negeri dan menyeimbangkan pasokan.
Kebijakan ini juga muncul setelah munculnya kasus dugaan korupsi di Kemendag terkait ekspor CPO.
Indonesia sendiri merupakan negara eksportir CPO terbesar di dunia.
Baca Juga:
Mendag Tambah Jatah Ekspor CPO Demi Kerek Harga Sawit
Tentu dengan adanya kebijakan ini akan membuat banyak negara tujuan ekspor CPO Indonesia kelabakan.
"Karena Indonesia adalah produsen terbesar maka kebijakan sudah pasti akan mendorong harga CPO dan produk turunannya untuk meningkat, negara-negara seperti India dan China yang merupakan importir utama produk CPO perlu mencari pasar alternatif lain selain Indonesia," kata Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet kepada detikcom, Minggu (24/4/2022).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), India berada di urutan pertama sebagai negara tujuan ekspor CPO dari Indonesia. Pada periode Januari-Februari 2022 nilainya mencapai US$ 997,4 juta.
Posisi kedua adalah Pakistan. Negara ini mengimpor CPO dari Indonesia periode Januari-Maret 2022 nilainya mencapai Rp 745,5 juta.
Ketiga adalah Amerika Serikat yang mengimpor CPO dari Indonesia pada periode Januari-Maret 2022 nilainya mencapai US$ 516 juta. Kemudian diikuti negara-negara seperti Malaysia, Bangladesh, China, Mesir, Rusia, Spanyol dan Filipina.
Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, penyetopan sementara ekspor CPO itu akan berbuntut pada kehilangan devisa negara dari ekspor CPO.
"Selama satu bulan Maret 2022 ekspor CPO nilainya USS$ 3 miliar. Jadi estimasinya bulan Mei apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, kehilangan devisa sebesar US$ 3 miliar setara Rp 43 triliun akan terjadi dan angka itu setara 12% total ekspor non migas. Ini bisa ganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu," ucapnya. [Tio]