WahanaListrik.com | Pada musim semi 2020, ketika virus corona menyebar (pandemi Covid-19), banyak negara-negara di dunia memberlakukan lockdown (karantina wilayah).
Selama periode karantian wilayah saat pandemi Covid-19 di 2020, manusia menggunakan lebih sedikit energi dan banyak menghabiskan waktu untuk beraktivitas di rumah masing-masing.
Baca Juga:
Hujan Petir Bukan Masalah! Begini Cara Pesawat Modern Tetap Aman di Udara
Dilansir dari Discover Magazine, Selasa (22/3/2022), akibatnya udara dan air menjadi lebih bersih, lebih sedikit hewan yang terbunuh oleh kendaraan, dan dunia menjadi lebih tenang.
Sekarang, para peneliti berpikir mereka telah menemukan dampak lain dari lockdown, yakni lebih sedikit kemunculan petir di musim semi 2020.
Para ilmuwan percaya, partikel kecil di atmosfer yang disebut aerosol berkontribusi terhadap kemunculan petir, dan aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil melepaskan aerosol.
Baca Juga:
BMKG Ingatkan Sejumlah Daerah Siaga Hujan Lebat 5-11 Juli 2024
Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun lalu menunjukkan, karena manusia melepaskan lebih sedikit aerosol selama lockdown, konsentrasi aerosol di atmosfer menurun.
Bulan lalu, para peneliti pada pertemuan American Geophysical Union di New Orleans mempresentasikan temuan yang menerangkan jika penurunan aerosol atmosfer ini bertepatan dengan penurunan petir.
Earle Williams, ahli meteorologi fisik di Massachusetts Institute of Technology yang mempresentasikan penelitian tersebut, mengatakan timnya menggunakan tiga metode berbeda untuk mengukur aktivitas petir.
"Semua hasil menunjukkan tren yang sama, yaitu aktivitas petir berkurang terkait dengan tingkat konsentrasi aerosol yang berkurang," kata Williams.
Dia mengutarakan, ketika negara-negara menerapkan lockdown pada awal pandemi Covid-19, manusia mengeluarkan lebih sedikit aerosol ke atmosfer.
Produksi di pembangkit listrik yang membakar bahan bakar fosil turun.
Orang-orang juga mengemudi lebih sedikit. Lalu lintas mobil memiliki dampak besar pada produksi aerosol permukaan.
Demikian pula, polusi dari perjalanan udara menurun secara signifikan.
Pengurangan polusi ini, kemungkinan merupakan alasan utama mengapa Williams dan rekan-rekannya mengamati penurunan aktivitas petir, yang mencakup kilat yang menyambar tanah, serta kilat di dalam awan, serta dan kilat di antara awan dan udara.
Salah satu metode peneliti, yang merekam banyak kilatan intracloud (jenis petir yang paling umum), mengukur 19% lebih sedikit kilatan pada Maret 2020 hingga Mei 2020, dibandingkan dengan jumlah rata-rata kilatan petir pada periode tiga bulan yang sama pada tahun 2018, 2019, dan 2021.
"Sembilan belas persen pengurangan merupakan angka yang cukup besar," ujar Williams.
Selanjutnya, timnya menganalisis resonansi elektromagnetik global dengan metode lain yang disebut resonansi Schumann.
Williams menjelaskan, intensitasnya dianggap sebanding dengan jumlah kilatan petir yang terjadi, dan pengukuran ini juga menunjukkan ada lebih sedikit petir selama 2020.
Selain itu, tempat-tempat dengan pengurangan aerosol atmosfer yang lebih signifikan disebut cenderung memiliki pengurangan petir terbesar.
Misalnya, Asia Tenggara, Eropa, dan sebagian besar Afrika telah mengalami beberapa pengurangan terbesar baik dalam kasus aerosol di atmosfer dan kilat, sementara Amerika mengalami perubahan yang tidak terlalu dramatis.
Williams mengaku, dia tidak yakin mengapa ada penurunan konsentrasi aerosol yang lebih lemah di Amerika, tetapi dia berpendapat jika peningkatan konsentrasi aerosol di Amerika Selatan bagian utara dapat disebabkan oleh kebakaran.
Salah satu alasan peneliti ingin memahami petir adalah karena petir memengaruhi atmosfer.
Sambaran petir menghasilkan nitrogen oksida, yang berkontribusi terhadap polusi udara.
"Kimia atmosfer itu pasti dipengaruhi oleh aktivitas petir," papar Williams. [Tio]