WahanaListrik.com | Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan dampak dari pencabutan larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO) belum begitu signifikan.
Hal ini tercermin dari harga tandan buah segar (TBS) sawit di beberapa wilayah di Indonesia masih rendah.
Baca Juga:
Indonesia Dorong Percepatan Aksesi OECD dan Integrasi Ekonomi ASEAN untuk Pertumbuhan Inklusif dan Berkelanjutan
Menurut Henry, walaupun ada kenaikan namun perubahannya masih kecil.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi mencabut larangan ekspor sementara CPO dan produk turunannya. Adapun aturan ini mulai berlaku pada Senin (23/5/2022).
"Di beberapa desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara terjadi kenaikan Rp 50 per kg, dan ada juga yang harganya tetap. Harga di tingkat petani bervariasi di kisaran Rp1.700 – Rp 2.000. Sementara harga di loading ramp di kisaran Rp 2.000 – Rp 2.200," katanya dalam keterangan resmi, Selasa, 23 Mei.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil Tekankan Peran Penting APBN sebagai Katalisator Perkembangan Perekonomian
Dari Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS di peron Rp 1.750, sementara untuk langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) di kisaran Rp 1.950. Sementara di Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu, harga TBS sudah ada yang Rp 2.300 per kg jika diantarkan langsung ke PKS.
"Kalau di Jambi, harga TBS juga tidak lagi mengalami penurunan. Di Tanjung Jabung Timur harga TBS tetap Rp1.625 per kg, di Muara Bungo Rp2.200 per kg, dengan kenaikan Rp100 per kg. Begitu juga di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Barat, kenaikan mulai dari Rp75 per kg sampai Rp 250," katanya.
Henry juga menyinggung, janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tetap mengawasi dan memastikan pasokan minyak goreng terpenuhi dengan harga yang terjangkau dan stabil di harga Rp14.000.
"Jika tidak, pada akhirnya rakyat kecil dan terkhusus keluarga petani dan buruh kembali mengalami kesulitan mendapatkan minyak goreng," ucapnya.
Tak hanya itu, Henry juga meminta Jokowi untuk melakukan pembenahan prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ia meminta agar aturan disederhanakan dan dipermudah.
"SPI meminta presiden agar pemerintah membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani. Selain itu, BPDKS untuk mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil, karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel," katanya.
Menurut Henry, peristiwa berkurangnya cadangan dan harga minyak goreng yang tidak terkontrol oleh pemerintah ini, disusul dengan kebijakan pelarangan dan pencabutan kebijakan pelarangan ekspor CPO harus dijadikan sebagai momen untuk merombak tata kelola persawitan Indonesia melalui reforma agraria.
"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya. Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA)," jelasnya.
Sementara korporasi mengurus industri pengolahan lanjutannya saja seperti pabrik sabun, obat-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya saja.
"Pemerintah juga harus menggandeng ormas tani seperti SPI untuk menetapkan harga ideal TBS agar petani sawit untung, bukan malah buntung," tutupnya. [Tio]