WahanaListrik.com | AKBP (Purn) Hartino selaku Komandan Kompi A Brimob Ranger dikenal komandan legendaris, ditakuti, dan disegani anak buah.
Bahkan, anak buahnya mengira Hartino memiliki jimat yang mampu mengendus atau menjejak gerombolan pemberontak .
Baca Juga:
70 Orang Tewas Akibat Serangan Koalisi Pimpinan arab Saudi di Yaman
Pada tahun 1959, Hartino yang masih menjabat Inspektur Dua (Ipda) merupakan salah satu di antara dua perwira yang lolos seleksi Ranger angkatan I.
Hartino yang saat itu berusia 30 tahun kemudian dipercaya sebagai Wadan Kompi A Brimob Ranger.
Meski muda dan lajang, Hartino tetap dianggap senior lantaran rata-rata anak buahnya berusia 20-an tahun. Mereka yang pernah menjadi bawahan langsung Ipda Hartino merasakan betul menjadi pasukan Ranger.
Baca Juga:
Bentrokan Separatis Tewaskan 3 Tentara Ukraina, 10 Luka-luka
Dikutip dari buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan, karya Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis, Januari 2013, saat test mission menghadang pemberontak DI/TII di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1959, Hartino memimpin satu regu untuk menghadang lawan.
Ketika bertemu musuh, Hartino selalu berada di depan dan terus berlari kencang mencari posisi sambil melepas tembakan.
Tim Resimen Pelopor dalam Operasi Trikora tahun 1962. Foto: Koleksi Andi Muh Darlis, penulis buku Resimen Pelopor (Edisi Revisi), Pasukan Elite Yang Terlupakan.
Ini membuat anak buahnya yang berada di belakangnya kewalahan mengejar sang komandan.
Anggota Kompi A selalu teringat dalam setiap kontak senjata, US Carabine milik Hartino yang selalu menjadi senapan pertama pasukan Ranger melepaskan peluru.
Keunikan lain dari Ipda Hartino yakni setiap regu yang dipimpinnya selalu bertemu pemberontak baik dalam misi di Jabar tahun 1959 maupun di Sumatera pada tahun 1960.
Karena inilah, anak buahnya mengira Hartino memiliki jimat yang mampu menjejak pemberontak.
Konsekuensinya, setiap regu yang komandonya diambil alih Hartino harus selalu menyiapkan amunisi tambahan sebagai persiapan menghadapi kontak tembak yang biasanya berlangsung lama.
Gerombolan pemberontak yang bertemu pasukan Ranger pimpinan Hartino selalu dikejar dan jarang dilepaskan.
Hartino juga memiliki kebijakan lapangan yang terkenal di kalangan anak buahnya yaitu tidak diperkenankan membawa tawanan dalam pertempuran.
Artinya, setiap musuh harus ditembak. Itulah yang membuat sosok Ipda Hartino menjadi kontroversial.
Selepas penugasan dalam operasi Trikora, Hartino ditugaskan memimpin Kompi Brimob organik di Sulawesi.
Tugas itu merupakan promosi untuk kenaikan pangkat menjadi AKP.
Lantaran sosok kontroversial dan idealismenya menjadi penyebab Hartino tidak bisa menjadi perwira tinggi, padahal saat itu dia memimpin jajaran pasukan khusus.
Pemindahan AKP Hartino ke Sulawesi diduga adanya “ketakutan” para perwira di Markas Besar DKN (Djawatan Kepolisian Negara sekarang Mabes Polri) terhadap kenekatan Hartino.
Jabatan terakhir Hartino adalah instruktur di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang. [Tio]