WahanaListrik.com | Kisah dua warga negara Indonesia yang tinggal di Sri Lanka.
Mereka mengaku kalau krisis yang menimpa Sri Lanka sangat berpengaruh pada kehidupan di sana.
Baca Juga:
Presiden Jokowi dan Presiden Wickremesinghe Bahas Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Sri Lanka
Diketahui, WNI tersebut bernama Ni Putu Eka Yuli Suswantari yang bekerja sebagai terapis spa di ibu kota Colombo menyebut kini biaya hidup dan terjadi kesulitan untuk pengiriman uang ke Indonesia dengan nilai mata uang yang anjlok.
"Krisis yang terjadi sangat mempengaruhi semua. Semua serba mahal, jadinya kita dapat gaji sekian, dan bekal hidup sekian, semua dihemat," ujar Yuli dikutip BBC News Indonesia.
Dia sudah tiga tahun tinggal di Sri Lanka, dan biasanya mengirim sekitar 140.000 rupee atau Rp 6 juta sampai Rp 7 juta.
Baca Juga:
Bakamla RI Terima Kunjungan Kehormatan DSCSC Sri Lanka
Lalu, WNI lain bernama Dita Kleyn yang tinggal di Kandy menjelaskan sering mendengar kesulitan rekan-rekan lain yang bekerja di spa.
"Yang mendapat gaji rupee, banyak teman Indonesia yang kerja sebagai terapis spa sangat terdampak sekali untuk pengiriman duit ke Indonesia karena mata uangnya jatuh," katanya.
Dia sudah tinggal selama 12 tahun di Sri Lanka bersama suaminya.
Namun, saat ini krisis Sri Lanka membuat dia sulit memenuhi kebutuhan di sana.
"Kita susah sekali cari sembako, BBM, gas elpiji (untuk masak). Untuk BBM, kita tunggu berjam-jam, dan itupun dijatah. Ada yang antre semalaman," jelasnya.
"Sembako ada yang harganya naik empat kali lipat. Belum tarif dasar listrik, akan mengalami kenaikan 100%, yang saya dengar," tambahnya.
Tempat tinggal Yuli di Colombo dan Dita di Kandy, yang berjarak sekitar tiga jam berkendara dari ibu kota.
Dua tempat itu mengalami pemadaman listrik.
"Bisa sampai empat sampai lima jam sehari. Kita juga pernah mengalami mati listrik sampai 13 jam sehari. Sangat mengganggu sekali untuk kegiatan sehari-hari. Saya sebagai WNI, kami saja sudah sangat kelimpungan, terbebani, apalagi masyarakat lokal," ucapnya.
Diketahui dari KBRI di Kolombo, pekerja migran Indonesia di Sri Lanka berjumlah kurang dari 200 orang dan sebagian besar bekerja sebagai spa terapis di ibu kota Kolombo.
Sebagai informasi, Sri Lanka bermula setelah negara itu mengumumkan tidak memiliki cadangan devisa untuk membayar utang negara.
Di tengah krisis yang menyerang, Perdana Menteri Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa telah mengundurkan diri.
Dia mengundurkan diri meski para warga sedang memprotes cara pemerintah menangani krisis ekonomi di sana.
Dia mengirimkan surat pengunduran diri kepada adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Di mana pada surat itu ditulis soal harapan dirinya untuk mengatasi krisis ekonomi namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tampaknya tidak memuaskan kubu oposisi kecuali kalau dia mundur.
Menurutnya, pengunduran diri itu agar mendorong terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari semua partai demi menuntun negara ini keluar dari krisis ekonomi.
Para demonstrasi pun telah membuat bentrokan berdarah antara kubu antipemerintah dan pendukung Rajapaksa di Ibu Kota Kolombo.
Sehingga, mengakibatkan adanya 78 orang cedera di sana.
Krisis ini merupakan yang terburuk sejak meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948.
Bahkan, pemerintah telah meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar, setelah negara itu gagal membayar utang luar negeri senilai USD51 miliar (Rp 732 triliun).
Kini, cadangan devisa Sri Lanka telah habis dan tidak lagi bisa menopang kebutuhan rakyat, seperti makanan pokok, obat-obatan, dan bahan bakar.
Untuk dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting karena krisis ekonomi negara itu memburuk.
Kondisi ini juga membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.
Namun, pemerintah kembali menyalahkan pandemi Covid-19 yang mematikan sektor pariwisata.
Tapi, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi. [Tio]