WahanaListrik.com | Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat empat orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi ekspor minyak goreng.
Kasus ini diduga menjadi salah satu penyebab langka dan mahalnya minyak goreng beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Sebelas Desa Persiapan di Kutai Timur Masih Menunggu Keputusan Kemendagri
Salah satu yang dijerat tersangka adalah Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Dia dijerat bersama dengan tiga tersangka lainnya.
Mereka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana; Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup Stanley MA; dan General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar.
Baca Juga:
Letjen TB Simatupang dan DR Liberty Manik, Diantara 10 Putra Terbaik Sidikalang Dairi
Siapa Master Parulian Tumanggor?
Dikutip dari berbagai sumber, sebelum menjadi Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Dia tercatat pernah menjabat sebagai Bupati Dairi ke-18 sejak tahun 1999 hingga tahun 2009.
Sebelum menjadi Bupati Dairi, dia merupakan mantan pejabat Eselon II di Kantor Menteri Negara BUMN dan tenaga pengajar di Departemen Keuangan.
Pada saat menjadi Bupati Dairi, Master Parulian berperan melahirkan wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
Kabupaten tersebut dimekarkan dari Kabupaten Dairi pada 2003, di saat Master Parulian menjadi kepala daerah.
Dia salah satu inisiator pemekaran tersebut.
Selain di pemerintahan, dia juga pernah aktif sebagai ketua umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI).
Profil Wilmar Nabati Indonesia
Wilmar Nabati Indonesia merupakan salah satu industri Wilmar Group yang bergerak dalam jasa pengolahan minyak mentah kelapa sawit terbesar di Indonesia.
Selain Wilmar Nabati Indonesia, Wilmar Group juga mempunyai perusahaan sebagai produsen minyak goreng terbesar di Indonesia yakni PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk (CEKA).
Wilmar Group adalah produsen minyak goreng merek Sania dan Fortune.
Darwin Indigo, keponakan Martua Sitorus, adalah Komisaris Utama CEKA.
Dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, Martua Sitorus berada di peringkat 14 dengan kekayaan sebesar USD 2,85 miliar atau Rp 40,75 triliun.
Peran Master Parulitan dalam Kasus Ekspor Migor
Diketahui kasus ini terkait dengan ekspor minyak goreng yang dilakukan secara melawan hukum.
Ekspor ini menyebabkan kelangkaan minyak goreng dan mahalnya komoditi tersebut sehingga diduga menyebabkan kerugian negara.
Izin ekspor tersebut diberikan oleh Indrasari Wisnu Wardhana. Salah satunya kepada PT Wilmar Nabati Indonesia.
Ada peran Master Parulitan dalam proses pendapatan izin tersebut, padahal melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan.
Master Parulitan diduga berkomunikasi secara intens dengan Indrasari terkait penerbitan izin Persetujuan Ekspor (PE) PT. Wilmar Nabati Indonesia dan PT. Multimas Nabati Asahan.
Ia juga diduga mengajukan permohonan izin Persetujuan Ekspor (PE) dengan tidak memenuhi syarat distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO).
Latar Belakang Kasus
Jaksa Agung ST Burhanuddin memimpin konferensi pers pengumumam tersangka kasus minyak goreng ini.
Burhanuddin menduga ada sejumlah perbuatan yang dilakukan secara bersama oleh para tersangka tersebut dan melanggar ketentuan.
Selaku Dirjen Daglu Kemendag, Indrasari diduga menyetujui ekspor minyak goreng dari sejumlah perusahaan.
Dia diduga menerbitkan persetujuan ekspor (PE) terkait komoditas Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya yang syarat-syaratnya tidak terpenuhi sesuai peraturan perundang-undangan.
Perusahaan-perusahaan tersebut yakni Permata Hijau Group, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musimas.
Diduga ada pemufakatan antara Indrasari dengan ketiga tersangka lainnya terkait ekspor tersebut.
"Dalam pelaksanaannya perusahaannya tidak memenuhi DPO (domestic price obligation) namun tetap memberikan persetujuan ekspor. atas perbuatan tersebut diindikasikan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara," kata Burhanuddin dikutip Kumparan.
Padahal syarat tersebut tertuang dalam dalam sejumlah peraturan seperti Pasal 54 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a b e dan f UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Kemudian persetujuan ekspor tersebut juga bertentangan dengan Putusan Menteri Perdagangan Nomor 129 tahun 2022 juncto nomor 170 tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah Distribusi Kebutuhan dalam Negeri dan Harga Penjualan dalam Negeri.
Lalu ketentuan bab 2 huruf a angka 1 huruf b juncto angka 2 huruf c angka 4 huruf c peraturan Dirdeplu Daglu tentang petunjuk teknis aturan ekspor CPO PDB palm oil.
Secara garis besar, para tersangka diduga melakukan perbuatan melawan hukum:
Pemufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor;
Dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya karena tidak memenuhi syarat, yakni:
a. Mendistribusikan CPO atau RBD Palm Olein tidak sesuai dengan harga penjualan dalam negeri (DPO);
b. Tidak mendistribusikan CPO dan RBD Palm Olein ke dalam negeri sebagaimana kewajiban yang ada dalam DMO (20% dari total ekspor).
Meski demikian, Burhanuddin belum menjelaskan pasal yang diterapkan kepada para tersangka.
Hanya disebut bahwa perbuatan ini terkait dugaan korupsi yang menimbulkan kerugian negara. Menurut Burhanuddin, kerugian negara itu masih dalam penghitungan. [Tio]