WahanaListrik.com | Tensi antara Rusia dan Ukraina makin memanas setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer ke Ukraina.
Sebuah serangan pertama dilancarkan ke Ukraina dan memicu ledakan keras. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dampak eskalasi konflik di Ukraina akan berpengaruh pada pasokan komoditas seperti energi hingga pangan.
Sehingga akan menimbulkan gejolak dari sisi persediaan dan permintaan kebutuhan dasar masyarakat.
“Eskalasi konflik di Ukraina sudah berdampak di terhadap harga energi secara global khususnya minyak. Sebentar lagi minyak akan mendekati level sikologis USD 100 per barel karena trennya sudah USD 96,8 per barel atau posisi saat ini naik 48 persen selama setahun terakhir,” kata Bhima, Kamis (24/2/2022).
Baca Juga:
Selama di Indonesia Paus Fransiskus Tak Akan Naik Mobil Mewah-Anti Peluru
Pemerintah perlu mengantisipasi terhadap gejolak harga yang akan terjadi akibat dampak dari sinyal perang dunia ketiga tersebut.
“Jadi trennya harga minyak mentah sedang mengalami reli dan terus mengalami kenaikan maka yang harus diantisipasi efek terhadap inflasi di dalam negeri,” tuturnya.
Bhima melanjutkan lebih jauh, pemerintah perlu mengantisipasi terhadap potensi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG, hingga tarif dasar listrik (TDL), serta komoditas lainnya yang berbasis impor.
Sebab, saat ini Indonesia masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan.
“Jadi tekanan pada inflasi khususnya Indonesia sebagai negara yang mengimpor BBM dalam jumlah cukup besar, maka imbasnya pasti harga BBM ini akan mengalami penyesuaian begitu juga basis energi lainnya seperti tarif dasar listrik, LPG, ini juga mulai mengalami penyesuaian,” ungkapnya.
Selain itu, Bhima melanjutkan, konflik di Ukraina banyak bukan hanya berdampak pada sektor transportasi saja, tapi juga pada komoditas pangan strategis.
“Akan terasa pada pelemahan konsumsi rumah tangga di kuartal I maupun semester I 2022,” imbuhnya.
Selanjutnya, kaya Bhima, pemerintah juga harus mengantisipasi kenaikan inflasi yang akan terjadi di banyak negara dunia.
Sebab, eskalasi di Ukraina akan mempercepat negara maju melakukan tappering off. Bahkan, ancaman arus modal keluar dari negara berkembang dapat terjadi.
“Jadi ini harus diantisipasi terhadap dampaknya seperti nilai tukar rupiah karena investor pasti akan mencari aset-aset yang lebih aman, dan beralih dari instrumen yang fluktiatif kepada instrumen yang memberikan rasa aman, seperti surat utang AS maupun komoditas seperti emas,” pungkasnya. [Tio]