2. Jetty PLTU tertentu PLN rusak, sehingga tidak bisa menerima vessel atau tongkang pengangkut batu bara. Ini merupakan krisis PLTU lokal, tapi bisa memengaruhi pasokan listrik regional.
3. Keterlambatan proses kontrak pengadaan batu bara walaupun sangat jarang terjadi atau pemasok tidak 'perform' di mana PLN pada waktu tertentu harus membeli batu bara di pasar spot.
Baca Juga:
Maraknya Penyalahgunaan Arus untuk 'Strum' Manusia, ALPERKLINAS Desak PLN Perketat Pengawasan
4. Pengaruh harga batu bara ekspor (internasional) yang tinggi atau kebutuhan luar negeri yang tiba- tiba melonjak tinggi di mana kesempatan ini digunakan penambang untuk menjual batu bara sebanyak-banyaknya ke luar negeri, sehingga pasokan dalam negeri berkurang.
Kondisi ini pernah dialami pada 2008, 2018, dan 2021 lalu, bahkan hingga baru-baru ini.
Seluruh penyebab ini pernah dialami oleh PLN," ungkap sumber CNBC Indonesia, dikutip Selasa (04/01/2021).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Soroti Ancaman 'Power Wheeling' dalam RUU EBET Prolegnas 2025
Dia menjelaskan, kebijakan PLN dalam menjaga pasokan batu bara antara lain adalah melalui kontrak jangka panjang dengan penambang-penambang besar, jangka menengah dengan traders dan penambang-penambang kecil, serta spot market dalam kondisi mendesak.
Selain itu, PLN juga menugaskan anak perusahaan yaitu PT PLN Batu Bara untuk juga mencari batu bara bekerja sama dengan traders atau penambang, namun sayangnya PLN Batu Bara belum punya tambang sendiri.
Begitu juga dari sisi cadangan atau stok, kebijakan PLN sampai 2015 adalah setiap PLTU harus punya cadangan minimal 30 hari operasi maksimum, sesuai kapasitas coal yard, namun sejak 2016 kebijakan ini diubah menjadi sekitar 14 hari karena dianggap menyimpan cadangan sampai 30 hari berarti membuat dana mati cukup besar.