Kemudian, terkait kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, Arya menjelaskan hasil survei itu tidak dapat menjadi alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau menunda Pemilu.
Sejumlah hasil survei, misalnya yang dikeluarkan oleh Indikator, menunjukkan mayoritas responden menolak adanya perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca Juga:
MK Koreksi Total Jadwal Pemilu, Pemilih Tak Lagi Harus Mencoblos 5 Kotak Sekaligus
“Penggunaan alasan kepuasan publik mendorong (perpanjangan) masa jabatan jelas tidak masuk akal dan tidak berdasarkan bukti, karena buktinya mayoritas publik tidak menginginkan perpanjangan masa jabatan (presiden),” terang Arya Fernandes.
Oleh karena itu, ia mendorong seluruh pihak untuk menolak gagasan tersebut karena selain alasan yang digunakan tidak masuk akal, wacana itu juga tindakan yang tidak demokratis.
“Dorongan menunda Pemilu atau dorongan memperpanjang masa jabatan itu mengingkari komitmen demokratis. Komitmen kita ditandai dengan apa yang disebut dengan fixed term limit (pembatasan masa jabatan, Red.),” terang Peneliti Politik CSIS Indonesia itu.
Baca Juga:
Pemilihan di Daerah Mundur ke 2031, Ini Putusan Mengejutkan MK soal Pilkada dan DPRD
Tidak hanya itu, wacana penundaan Pemilu 2024 itu juga mengingkari semangat dan agenda reformasi. [Tio]