WahanaListrik.com | Pengusaha keripik tempe kesulitan karena harga minyak goreng dan kedelai mengalami kenaikan.
Sudah dua bulan terakhir produksi keripik tempe belum juga normal akibat kendala bahan baku.
Baca Juga:
Mendag Zulhas: Harga Kedelai Naik Imbas Melemahnya Rupiah
Pemilik Usaha Keripik Tempe Rohani Trio Andi Cahyono mengakui, melambungnya harga kedelai kian membuat produksinya kian berdampak.
Saat ini dirinya mendapatkan harga kedelai di angka Rp 11.000 per kilogramnya, yang disebutnya jauh dari harga rata-rata normalnya.
"Kalau sekarang harga kedelai kurang lebih satu mingguan ini awalnya Rp10.250, jadi Rp10.800, sekarang bertahan Rp 11.000, dampaknya ya pasti berdampak, tapi kami tidak bisa tiba-tiba harga keripik tempenya dinaikkan," ucap Rohani, kepada media, Kamis siang (17/2/2022)
Baca Juga:
Bulog Subsidi Harga Kedelai Rp 1.000 per Kilogram Hingga Desember 2022
Sebagai solusi, pemilik usaha keripik tempe Rohani memilih mengurangi berat ukuran di kemasannya.
Cara ini bahkan telah dilakukan sejak dua bulan lalu, semenjak kenaikan harga dan sulitnya mencari stok minyak goreng. Hal ini demi menekan kerugian, sebab ia tak mungkin menaikkan harga jual keripik tempenya.
"Kami mengurangi berat dari keripik tempe, mengurangi berat misalkan berat dari keripik 200 gram, kami kurangi kemasannya, kami kurang tiga piece, jadi 165 gram. Kalau naikkan harga nggak mungkin," ungkapnya.
Rohani menerangkan, untuk produksi keripik tempenya memerlukan setidaknya 800 - 1.000 kilogram per bulannya. Sementara untuk kebutuhan kedelainya mencapai 25 ikal, per enam harinya.
"Setiap minggu kurang lebih 200 - 250 kilogram, untuk kedelainya 25 ikal setiap enam hari sekali, untuk kedelai harganya mahal, tapi stoknya ada. Beda kalau minyak goreng, sudah harganya mahal, dapatnya susah," katanya.
Dirinya menerangkan, setiap pembelian di distributor minyak goreng saat ini jumlahnya kurang terpenuhi.
Jadi misalkan, dirinya meminta pengiriman 100 jirigen, yang datang hanya 50 jirigen, sedangkan sisanya 50 jirigen datang menyusul.
"Jadi barangnya nggak bisa langsung datang, harus menyusul beberapa hari berikutnya, itu dengan harga yang masih mahal. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting kita jangan sampai henti produksi," tuturnya.
Maka untuk mengurangi beban produksi, pihaknya juga terpaksa mengurangi produksi keripik tempe seharinya.
Dimana bila rata-rata seharinya ia mampu memproduksi 100 kilogram, demi mengurangi beban produksi dan menyeimbangkan keuntungan ia kurangi 10 persen dari total produksinya.
"Kalau profit pasti turun, tapi sejauh ini kami belum menghitung berapa persentasenya," ujarnya.
Kini dia berharap pemerintah bisa mencarikan solusi mengenai minyak goreng dan kedelai yang jadi bahan baku usaha keripik tempenya.
Dirinya sebenarnya tak mempermasalahkan bahan baku yang naik, asalkan stoknya tersedia, mengingat untuk menekan angka produksi langkah khusus telah dilakukan.
"Ya semoga saja sebelum puasa harga-harga bisa normal kembali. Tapi meski mahal barangnya, yang penting barangnya ada, agar tetap bisa produksi. Ini kan (minyak goreng) nggak, sudah harga mahal, barang nggak ada itu yang bikin susah. Mohon perhatiannya untuk dinas terkait. Jangan sampai lebaran terjadi kelangkaan baik minyak, dan kedelai yang harganya tinggi," terangnya.
Pasalnya sebelum bulan Ramadhan, biasanya para pengerajin keripik tempe seperti dirinya mengalami kenaikan permintaan dari masyarakat.
Sehingga memasuki lebaran Idul Fitri biasanya adalah momen panen pesanan keripik tempe.
"Karena bagi kami pengerajin keripik tempe lebaran masa panennya kita. Jangan sampai lebaran terus terjadi kelangkaan, baik minyak, terus terjadi harga kedelai tinggi. Jadi yang kami berharap lebaran masa panennya kita, malah kita hanya bisa produksi, tapi profitnya nggak ada," tukasnya. [Tio]