Yang harusnya dilakukan, lanjut Bhima, adalah cukup mengembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen. Jumlah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan pada sisi produsen dan distributor.
Apalagi, minyak goreng dan CPO memberikan pemasukan yang cukup besar untuk negara.
Baca Juga:
Kumpulkan Minyak Jelantah Dapat Reward Poin dan Saldo Rp 6.000 per Liter dari Pertamina
Selama bulan Maret 2022 saja, ekspor CPO nilainya 3 miliar dollar AS. Sehingga, jika larangan ekspor berlaku selama 1 bulan, pemerintah akan kehilangan pendapatan sebesar itu atau sekitar Rp 42,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).
Di sisi lain, pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia.
Negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif juga akan diuntungkan. Seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yang diproduksi AS dan negara di Eropa.
Baca Juga:
Disperindag Sigi Catat Delapan Komoditi Alami Kenaikan Harga, Termasuk Cabai dan Minyak Goreng
"Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan ke mana kalau stop ekspor? Kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO," jelas Bhima.
"Tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini. Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang merugikan ekonomi," sambungnya. [Tio]