WahanaListrik.com | Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mulai hari ini hingga besok menjamu 8 dari 10 pemimpin negara ASEAN.
Satu dari 10 pemimpin negara ASEAN itu ialah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi.
Baca Juga:
DPP Martabat Prabowo-Gibran Ajak Masyarakat dukung Presiden dan Wakil Terpilih Demi Indonesia Maju
Dua pemimpin ASEAN yang berhalangan hadir adalah Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, dan pemimpin junta Myanmar, Min Aung Hlaing.
Ketidakhadiran Duterte disebutkan gegara terkendala adanya kegiatan akbar di negerinya, yakni Pilpres Filipina.
Jamuan Biden terhadap para pemimpin di kawasan Asia Tenggara itu merupakan rangkaian dari pertemuan KTT Khusus ASEAN-AS atau ASEAN-US Special Summit (AUSS).
Baca Juga:
DPP Martabat Prabowo-Gibran Ajak Masyarakat dukung Presiden dan Wakil Terpilih Demi Indonesia Maju
Agenda utamanya, seperti dikutip Voice of America (VoA), adalah hubungan perdagangan, keamanan regional, dan invasi Rusia ke Ukraina.
Menurut Gedung Putih, pertemuan itu menunjukkan komitmen abadi AS kepada ASEAN.
Sejumlah pengamat menilai, KTT tersebut diperkirakan takkan menghasilkan banyak substansi.
Aksi Biden mengundang para pemimpin ASEAN di tengah berkecamuknya perang di Ukraina itu seolah semakin menegaskan kepentingan geopolitik Washington yang masih menjadikan kawasan Indo Pasifik sebagai prioritas.
“KTT AUSS itu menjadi bukti betapa tingginya tingkat kebutuhan AS terhadap dukungan negara ASEAN demi mengamankan kepentingan geopolitiknya di kawasan Indo Pasifik,” kata Koordinator Relawan Martabat Jokowi-Ma’ruf, Arnol Sinaga SE SH MH, dikutip WahanaNews.co di Jakarta, Kamis (12/5/2022).
Jadi, lanjutnya, sungguh keliru kalau ada yang menyebut kunjungan kerja Presiden Jokowi ke AS, 11-13 Mei 2022, itu dalam konteks “mengemis”.
Justru, tandas Arnol, kalau mau lebih disederhanakan lagi, forum KTT AUSS itu merupakan wujud di mana Joe Biden “mengemis” dukungan negara-negara ASEAN dalam rangka memperkuat sikap AS dalam konflik Rusia vs Ukraina.
“Selama ini, satu-satunya barang jualan AS itu adalah American Dreams, mimpi Amerika. Maka, salah satu iming-iming dalam forum AUSS itu adalah memasukkan agenda hubungan perdagangan di sela-sela diskusi soal keamanan regional dan invasi Rusia ke Ukraina,” papar Arnol, yang juga dikenal sebagai seorang advokat muda.
Kehadiran CEO Tesla, Elon Musk, dalam rangkaian pertemuan KTT AUSS, menurut Arnol merupakan bagian dari strategi AS meraup dukungan geopolitik di ASEAN, sekaligus menyelipkan juga kepentingan Negeri Paman Sam terhadap sederet sumber daya ekonomi yang ada di Asia Tenggara.
Kalau memang Elon Musk menganggap negara-negara Asia Tenggara itu, termasuk Indonesia, adalah sekelompok pengemis saja, manusia terkaya di Planet Bumi ini berada pada posisi yang sangat memungkinkan untuk menolak pertemuan tersebut. Kenapa dia mau? Tentunya karena pertemuan itu ada kepentingannya juga bagi dia,” tutur Arnol.
Lebih lanjut Arnol menyampaikan kajiannya bahwa kehadiran Jokowi di forum KTT AUSS itu tentu tak lepas dari misi Indonesia sebagai pemegang tongkat presidensi G20 di tahun ini.
Menurut Arnol, sudah luas terpublikasi bahwa AS mengancam akan melakukan aksi boikot bila Indonesia tetap mengundang Presiden Rusia, Vladimir Putin, ke forum KTT G20 di Bali, akhir tahun ini.
Sudah terpublikasi juga bahwa Indonesia tetap mengundang Rusia, dalam hal ini Presiden Putin, sebagai salah satu negara anggota G20.
Bahkan, sudah ada kabar yang beredar, termasuk melalui Dubes Rusia untuk Indonesia, bahwa Vladimir Putin kemungkinan bakal hadir di KTT G20 nanti.
“Tegas disampaikan Presiden Jokowi, Indonesia tidak berada pada posisi mendukung Rusia atau Ukraina. Indonesia berada pada posisi mendorong stop the war, hentikan peperangan! Kalaulah Vladimir Putin hadir di KTT G20 Bali, Joe Biden membatalkan ancaman boikot, dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mau juga hadir sebagai negara undangan di forum tersebut, betapa indahnya Indonesia memainkan peran presidensinya di G20. Putin, Biden, Zelensky, duduk satu meja di Bali, Indonesia!” papar Arnol.
Polemik “Pengemis”
Paparan Arnol Sinaga itu sekaligus menepis sorotan tajam Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof Ronnie Higuchi Rusli, dan pegiat media sosial, Nicho Silalahi.
Diketahui, lewat cuitan di akun medsos Twitter-nya, Ronnie sampai menyebut Jokowi rela mengemis pergi ke AS untuk menemui CEO Tesla, Elon Musk, dan Presiden Joe Biden.
Ronnie mengatakan, seharusnya pimpinan negara-negara, termasuk Indonesia, pada umumnya didatangi oleh CEO, bukan sebaliknya.
“Biasanya CEO Corporate Dunia yg minta wkt bisa datang ke Indonesia utk bertemu Presiden RI,” tulis Ronnie, seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya, @Ronnie_Rusli, pada Rabu (11/5/2022).
“Sekarang sebaliknya Presiden RI yg minta waktu bisa datang ke Amerika utk bertemu dng CEO Corporate Amerika,” lanjutnya.
Ronnie mengatakan, kedatangan Jokowi ke AS untuk menemui CEO itu cenderung mengesankan Indonesia mengemis waktu kepada para petinggi perusahaan asing tersebut.
“Apakah negara sdh sedemikian parah sampai mengemis waktu utk bertemu? Ohh karena CEO Corparate lebih sibuk mengurusi perusahannya sehingga Presiden RI yang kurang sibuk harus datang menghadap dan meminta CEO agar mau berinvestasi di Indonesia???” terangnya.
Cuitan dari Ronnie itu membalas Tweet pegiat sosial media, Nicho Silalahi, yang meminta agar Jokowi, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, tak kembali lagi ke Tanah Air.
Hal itu, menurutnya, agar rakyat Amerika bisa juga merasakan kepemimpinan Jokowi yang takluk melawan Kartel Minyak Goreng.
“Jangan kembali pulang ya pak, saya rela dan mendukung bapak langsung jadi Presiden disana, biar rakyat Amerika bisa juga merasakan kepemimpinan bapak yang takluk melawan Kartel Minyak Goreng,” tulis Nicho Silalahi melalui akun Twitter-nya, @NichoSilalahi.
“Sekalian juga biar Ngibul Bapak bisa Go Internasional, ia gak sih ? (emoji tertawa),” lanjutnya.
Arnol menyampaikan kekecewaannya terhadap cara pandang, cara sikap, maupun cara bicara Ronnie Higuchi Rusli yang sama sekali tidak menunjukkan kapabilitasnya sebagai seorang akademisi.
“Saya tidak habis pikir, kenapa seorang akademisi bisa terjebak pada cara pandang dan cara berbahasa yang serupa dengan seorang pegiat medsos? Padahal, saya yakin, referensi seorang akademisi terhadap keberangkatan Presiden Jokowi ke AS pasti lebih lengkap dan akurat. Sikapnya pun tentu takkan cenderung urakan seperti itu,” kata Arnol Sinaga.
Ia kemudian menyampaikan pandangannya bahwa beban kepentingan dan kebencian yang terlalu besar cenderung berpotensi mengkerdilkan intelektualitas seseorang.
“Setahu saya, Indonesia tidak harus mengemis kepada Elon Musk. Karena, kalau tidak salah sejak dua tahun lalu, pihak Elon Musk justru sudah mengemis kepada Indonesia untuk berinvestasi di sektor penambangan nikel. Namun, Indonesia tegas menolak penawaran Elon Musk itu, yang dianggap tidak mau sejalan dengan kebijakan hilirisasi industri Indonesia. Kita menolak bahan baku Indonesia di bawa keluar dari Tanah Air. Indonesia maunya barang jadi dari bahan baku itu diproduksi di sini, baru dibawa ke luar,” kata Arnol.
Khusus kepada Nicho Silalahi, Arnol menyampaikan pesan bahwa pernyataan pegiat medsos itu ibarat “meongan kucing di padang pasir”.
“Seperti meongan kucing di padang pasir. Nyaris tak terdengar, hingga sulit direspons positif,” pungkas Arnol. [yhr/tio]