“Ini mulai menerapkan pajak karbon per tanggal 1 April 2022 dengan skema cap and trade and tax,” jelas Rida.
Penerapan skema cap and trade and tax, ujar Rida, secara khusus diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara dengan kapasitas 25-100 megawatt dan rencananya akan mulai efektif diimplementasikan pada 2023 mendatang.
Baca Juga:
PLN Nusantara Power Siapkan Dana Modifikasi Cuaca Tiap Tahun
Namun secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 megawatt, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 megawatt, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 megawatt.
Pengecualian tersebut dilakukan, ungkap Rida, karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat.
Lantaran memiliki kapasitasnya kecil, namun secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25-100 megawatt tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.
Baca Juga:
PLN Nusantara Power Siapkan Dana Modifikasi Cuaca Tiap Tahun
“Jangan sampai mengurangi pelayanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu,” ujarnya.
Kementerian ESDM sendiri tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik.
Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.