Rohani menerangkan, untuk produksi keripik tempenya memerlukan setidaknya 800 - 1.000 kilogram per bulannya. Sementara untuk kebutuhan kedelainya mencapai 25 ikal, per enam harinya.
"Setiap minggu kurang lebih 200 - 250 kilogram, untuk kedelainya 25 ikal setiap enam hari sekali, untuk kedelai harganya mahal, tapi stoknya ada. Beda kalau minyak goreng, sudah harganya mahal, dapatnya susah," katanya.
Baca Juga:
Mendag Zulhas: Harga Kedelai Naik Imbas Melemahnya Rupiah
Dirinya menerangkan, setiap pembelian di distributor minyak goreng saat ini jumlahnya kurang terpenuhi.
Jadi misalkan, dirinya meminta pengiriman 100 jirigen, yang datang hanya 50 jirigen, sedangkan sisanya 50 jirigen datang menyusul.
"Jadi barangnya nggak bisa langsung datang, harus menyusul beberapa hari berikutnya, itu dengan harga yang masih mahal. Tapi mau bagaimana lagi, yang penting kita jangan sampai henti produksi," tuturnya.
Baca Juga:
Bulog Subsidi Harga Kedelai Rp 1.000 per Kilogram Hingga Desember 2022
Maka untuk mengurangi beban produksi, pihaknya juga terpaksa mengurangi produksi keripik tempe seharinya.
Dimana bila rata-rata seharinya ia mampu memproduksi 100 kilogram, demi mengurangi beban produksi dan menyeimbangkan keuntungan ia kurangi 10 persen dari total produksinya.
"Kalau profit pasti turun, tapi sejauh ini kami belum menghitung berapa persentasenya," ujarnya.